Minggu, 17 Juni 2018

Proses Impor Barang

Kegiatan impor merupakan kegiatan memasukkan barang dari daerah pabean negara lain ke daerah pabean Indonesia, biasanya dalam jumlah besar untuk tujuan komersial maupun non komersial. Di Indonesia, peraturan mengenai impor tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ketentuan umum impor tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 48/ M-DAG/ PER/ 7/2015.

Hal-hal yang perlu diperhatikan apabila ingin melakukan kegiatan impor suatu barang antara lain:
1. Melakukan pengecekan apakah barang yang akan diimpor diperbolehkan oleh pemerintah Indonesia;
2. Melakukan pengecekan daftar HS (Harmonized System). HS ini dicek untuk menyamakan persepsi produk yang diperdagangkan secara internasional;
3. Perusahaan berkorespodensi dengan penjual barang yang akan diimpor;
4. Perusahaan membuka LC (Letter of Credit) di bank devisa;
5. Bank devisa mengirim LC ke bank koresponden di luar negeri;
6. Bank koresponden memberitahukan LC tersebut ke penjual;
7. Penjual menyerahkan dokumen sertifikasi dan menyerahkan bukti bahwa barang sudah siap dimuat ke kapal kepada bank koresponden;
8. Barang diunggah ke kapal;
9. Barang masuk ke pelabuhan Indonesia (belum masuk daerah pabean Indonesia);
10. Proses melalui bea cukai dengan menggunakan dokumen PIB (Pemberitahuan Impor Barang);

11. Bea cukai menetapkan jalur terhadap proses impor;
- jalur hijau apabila barang dapat langsung dikeluarkan
- jalur merah apabila diperlukan proses cek fisik terhadap barang oleh petugas bea cukai
12. Bea cukai akan menerbitkan dokumen SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang) apabila importasi disetujui;
13. Barang dapat dikeluarkan dari kawasan pelabuhan dan diizinkan masuk daerah pabean Indonesia.

Halal Supply Chain Management (Manajemen Rantai Pasok Halal)

Manajemen rantai pasok halal adalah kegiatan manajemen pada seluruh rantai pasok yang bertujuan untuk menjamin integritas halal dimulai dari bahan baku hingga sampai di tangan konsumen, sehingga selama proses pada rantai pasok, kehalalan dan keamanan produk tetap terjaga. Kegiatan manajemen rantai pasok halal meliputi proses pengelolaan, pengadaan, penyimpanan dan penanganan bahan, produk setengah jadi, dan produk jadi.

Fondasi dari manajemen rantai pasok halal menurut Tieman (2011) yaitu kontak langsung dengan haram, bahaya kontaminasi, dan persepsi dari konsumen muslim. Persepsi ini didasarkan pada tuntutan pasar, seperti persepsi ajaran sekolah islam, lokal fatwa, dan adat setempat.

Model manajemen rantai pasok halal merupakan adaptasi dari rantai pasok pada umumnya dengan ditambahkan titik-titik yang perlu diperhatikan untuk halal.
Model tersebut merupakan model manajemen rantai pasok halal yang dikembangkan dari model rantai pasok Cooper (1997) oleh Van deh Vorst dan Beulens pada tahun 2002.

Halal Policy
Halal policy merupakan nilai penting sebagai bagian dari tanggung jawab atau komitmen suatu organisasi untuk melindungi keintegritasannya terhadap kehalalan sepanjang rantai pasok. Selain itu, halal policy juga ditujukan untuk mencapai sertifikasi halal dan memberikan jaminan keamanan bagi konsumen.

Supply Chain Objective
Tujuan rantai pasok terdiri dari tujuan logistik dan tujuan pelayanan konsumen. Tujuan logistik berisi cara mengurangi waktu produksi, meningkatkan realibilitas dan fleksibilitas, dan mengurangi ongkos dari rantai pasok. Tujuan pelayanan konsumen adalah siklus waktu dari pemesanan hingga sampai ke tangan konsumen yang memerhatikan ketersediaan stok produk dan tingkat kepuasaan permintaan.

Logistic Control
Kontrol logistik diperlukan untuk mengambil keputusan dan mengatur jalannya rantai pasok yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan konsumen, meminimalisasi ongkos, dan memiliki sistem yang terkontrol.

Supply Chain Resources
Supply Chain Resources menggambarkan organisasi dan informasi manajemen dalam rantai pasok.

Supply Chain Business Processes
Kunci paling penting dalam bisnis rantai pasok halal adalah:
- Order fulfilment: Proses distribusi harus memenuhi persyaratan halal, yaitu harus dipisahkan antara makanan halal dan non-halal.
- Manufacturing flow management: Perlu adanya kontrol dan jaminan untuk menjaga integritas halal dari sumber bahan baku hingga ke tangan konsumen.
- Procurement: Para pemasok harus menghargai nilai-nilai halal yang terdapat penentuan strategi pembelian, penentuan spesifikasi, kecepatan, dan evaluasi dari pemasok.

Supply Chain Network Structure
Jaringan yang terhubung antar organisasi yang saling bekerja sama untuk mengelola, mengendalikan, dan meningkatkan proses berjalannya bahan dan informasi. Integritas rantai pasok halal sangat penting bahwa pihak-pihak yang terlibat harus memiliki sertifikasi halal serta memahami dan mematuhi persyaratan halal.

Halal Supply Chain Performance
Efektivitas dari sebuah rantai pasok halal sangat penting untuk diukur. Terdapat 2 aspek pengukuran efektivitas, yaitu:
- Process quality: Kepercayaan dari suatu merek dagang dan kredibilitas dari sertifikat halal.
- Waste: Limbah fisik dalam rantai pasok, jejak karbon dan sumber daya yang digunakan.


Daftar Pustaka
Tieman, M. 2011. The Application Of Halal In Supply Chain Management: Indepth Interviews. Journal Of Islamic Marketing, 2(2), 186-195.
Van der Vorst, J.G.A.J. & Beulens, A.J.M. 2002. Identifying sources of uncertainty to generate supply chain design strategies. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 32(6), 409-30.

Selasa, 12 Juni 2018

Proses Ekspor Barang

Ekspor adalah proses transportasi barang yang dijual antar negara. Proses ekspor seringkali dilakukan oleh perusahaan sebagai strategi utama untuk bersaing di tingkat internasional. Menurut Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean Indonesia ke daerah pabean negara lain.

Di Indonesia, peraturan mengenai ekspor tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Ketentuan umum ekspor tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012

Langkah-langkah yang harus dilakukan apabila akan melakukan ekspor barang adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pengecekan barang, apakah barang tersebut boleh diekspor ke negara tujuan atau tidak;
2. Melakukan pengecekan barang, apakah barang tersebut boleh diekspor oleh negara Indonesia atau tidak;
3. Melakukan pengecekan daftar HS (Harmonized System). HS ini dicek untuk menyamakan persepsi produk yang diperdagangkan secara internasional;
4. Melakukan pengecekan perlu tidaknya karantina;
5. Mendapatkan Phytosanitary Certificate;
Cara mendapatkan Phytosanitary Certificate
6. Melakukan pengurusan NIK di Direktorat Jendral Bea dan Cukai;
7. Menyiapkan barang dan dokumen, termasuk NIK, SIU, NPWP, TDP, daftar kemasan, invoice;
8. Membuat PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) di kantor bea cukai dengan melampirkan semua dokumen termasuk copy ID dari direksi, akte pendirian perusahaan, keterangan terdaftar pajak, dll
Formulir PEB

9. Pembeli membuka LC (Letter of Credit) di bank negaranya;
10. Bank tersebut meneruskan ke pembeli dengan menghubungi bank koresponden Indonesia (tempat eksportir berhubungan);
11. Bank koresponden meneruskan pada direksi yang berhubungan dengan perusahaan;
12. Survey barang oleh independen surveyor (jika ada kesepakatan);
13. Perusahaan mengurus izin muat barang di kantor bea cukai;
14. Perusahaan mengurus SKA dari dinas perdagangan / perindustrian;
15. Barang dimuat ke kapal;
16. perusahaan dapat surat keterangan BL (Bill of Lading) atau Airway Bill yang merupakan tanda terima barang yang telah dimuat dan merupakan tanda bukti kepemilikan barang serta bukti adanya perjanjian jual beli;
17. Semua dokumen diserahkan kepada bank koresponden;
18. Bank koresponden mengirim dokumen ke bank negara pembeli;
19. Bank negara pembeli memeriksa kebenaran dokumen;
20. Pembayaran dilakukan oleh pembeli;
21. Dokumen diserahkan kepada pembeli;
22. Pembeli mengurus barang di pabean;
23. Bank negara pembeli mengirim uang ke bank koresponden, kemudian dikirimkan ke perusahaan

Hubungan SSCM dan BoP

Supply Chain atau Rantai Pasok adalah sebuah tahapan aktivitas yang terdiri atas komponen supplier, manufacturer, distribution center, wholesaler, dan retailer. Ketiga komponen ini bekerja untuk memenuhi permintaan konsumen. Manajemen dalam rantai pasok merupakan aktivitas yang dirangkai untuk mencapai keefektifan dalam rantai pasok.

Sustainable Supply Chain Management (SSCM) merupakan hasil integrasi rantai pasok dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan antar organisasi untuk pengolahan bahan, informasi, dan modal secara efisien dan efektif. SSCM meliputi penggunaan sumber daya alam, emisi, kesejahteraan hewan, kesehatan konsumen, kualitas dan keamanan pangan, kondisi etika di tempat kerja, dan keterjangkauan konsumen.

Based of The Pyramid (BoP) merupakan kegiatan yang mengacu pada kewirausahaan untuk pembangunan dan pemberantasan kemiskinan. BoP dapat diinterpretasikan dalam 2 definisi, yaitu:
- Konsumen perusahaan besar baik itu multinasional atau tidak yang berada pada bagian dasar piramida ekonomi memberikan keuntungan terhadap produk atau layanan yang terjangkau sehingga mampu mengatasi masalah kemiskinan.
- Orang miskin merupakan produsen yang dapat berperan sebagai mitra bisnis.
Tujuan BoP adalah pembangunan berkelanjutan dengan cara meningkatkan pendapatan atau standar hidup rakyat miskin.

SSCM dan BoP memiliki sifat dan latar belakang yang berbeda. BoP berfokus pada model bisnis tertentu di lingkuungan negara berkembang, sedangkan SSCM merupakan konsep menyeluruh antar kegiatan bisnis untuk menganalisis dan mengelola kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kinerja yang komprehensif.
Fokus utama BoP ditempatkan pada masyarakat yang kurang mampu sebagai konsumen. SSCM dan BoP bekerja sama dalam tiga dimensi berkelanjutan (triple bottom line) yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hubungan yang paling menonjol antara BoP dan SSCM dapat ditemukan dalam desain dan operasi rantai suplai.

Rantai pasok yang berkelanjutan ini menggabungkan tujuan lingkungan seperti: pengurangan emisi dengan tujuan sosial seperti penciptaan nilai lokal atau peningkatan gizi, dengan margin profitabilitas yang berkurang tetapi masih layak. SSCM dapat membantu fokus proyek-proyek BoP saat ini pada garis dasar ganda seperti sosial dan ekonomi, dengan dimensi keberlanjutan lingkungan yang sejauh ini masih terabaikan. Kemudian rantai pasokan BoP dapat menunjukkan jalan untuk mengintegrasikan domain sosial ke dalam teori dan praktik SSCM secara umum.

Jumat, 01 Juni 2018

Sejarah Undang-Undang Ketenagakerjaan

Peraturan yang mengatur tenaga kerja merupakan peraturan yang umum diterapkan pada seluruh industri, karena industri tidak lepas dari adanya tenaga kerja. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia, sehingga Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia yang dapat dijadikan sebagai tenaga kerja.

Peraturan Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang tersebut mengatur hak tenaga kerja serta kewajiban dari perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja. Secara garis besar, Undang-Undang ini mengatur pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, kontrak kerja, pengupahan, perlindungan, sanksi, dan pengawasan.

Hukum ketenagakerjaan sudah ada sejak masa sebelum proklamasi, saat terjadi perbudakan oleh penjajahan Belanda. Saat itu, pemerintah Belanda membuat peraturan untuk melindungi budak. Hukum perbudakan pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817 dan seterusnya dikeluarkan peraturan-peraturan untuk meringankan beban para budak.

Setelah masa kemerdekaan, sejarah hukum ketenagakerjaan dibagi pada 4 masa:

Masa Orde Lama
Pada masa awal kemerdekaan, gerakan buruh memiliki peran yang sangat penting dalam mempertahankan kemerdekaan. Keberhasilan gerakan buruh ini menjamin posisi buruh yang lebih baik, yang mana buruh memiliki peranan penting dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia.

Undang-Undang pertama yang dikeluarkan pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan di Tempat Kerja yang merupakan peralihan kebijakan dasar perburuhan yang sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW.
(BW : burgerlijk wetboek, artinya hukum perdata)

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan. Kedua Undang-Undang ini menjadi dasar Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini.

Masa Orde Baru
Masa ini merupakan masa terjadinya kekacauan ekonomi, sehingga terjadi pembelengguan di segala sektor. Tugas utama pemerintahan saat itu adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Rezim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensis, yang berarti penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonominya.

Akibatnya, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat berjalan dengan efektif karena kentalnya militerisme. Semua hukum berada dibawah intervensi pemerintah yang memerintah secara diktator.

Masa Reformasi
Berakhirnya masa orde baru membuka peluang gerakan buruh dengan kebebasan berserikat. Pada saat itu, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang dibantu dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) melakukan aksi menolak militerisme dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997.

Aksi penolakan itu berhasil, ditandai dengan keluarnya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa Undang-Undang tersebut ditolak. Menurut KPHP, Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebas berorganisasi dan mogok, serta lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Setelah penolakan berhasil, Undang-Undang perburuhan kembali ke undang-undang lama selama 5 tahun sebelum akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Masa Sekarang
Perkembangan hukum perburuhan atau ketenagakerjaan ditandai oleh lahirnya 4 Undang-Undang, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Green Supply Chain Management (GSCM)

Manajemen Rantai Pasokan Hijau atau Green Supply Chain Management (GSCM) merupakan suatu kegiatan yang mengintegrasikan konsep lingkungan dalam manajemen rantai pasok industri. Tujuan GSCM adalah meminimalkan atau menghilangkan limbah yang berakibat polusi yang ditimbulkan pada sepanjang rantai pasok. GSCM berperan penting dalam mempengaruhi langsung dampak lingkungan.

Konsep GSCM meliputi aktivitas reuse, remanufacturing, reclamation, recycling, dan sebagainya. Saat ini produsen mulai mengadopsi praktik kerja yang memperhatikan lingkungan (green practices).

Skema GSCM

- Green purchasing practices merupakan praktik pemasokan barang bahan baku dari supplier yang telah memiliki kompetensi lingkungan. Sehingga bahan yang didapatkan beserta kemasannya bersifat ramah lingkungan. Proses pengiriman juga meminimalisir penggunaan energi, dan proses pembelian dilakukan secara elektronik yang tidak menggunakan kertas.

- Green manfacturing merupakan proses produksi dengan menggunakan material yang tidak berdampak besar pada lingkungan, efisien, dan hanya menghasilkan sedikit limbah atau polusi. Standar dalam penerapannya yaitu tidak adanya potensi dalam masalah keamanan, ancaman kesehatan, dan pencemaran lingkungan selama proses produksi. Green manufacturing melingkupi produk dan kemasan.

- Green distribution practices sangat erat kaitannya dengan penggunaan kemasan produk, dikarenakan aspek dalam kemasan mempengaruhi proses distribusi. Praktik yang dapat dilakukan adalah melakukan distribusi secara masal bersamaan dengan menggunakan kendaraan yang memakai bahan bakar alternatif dan langsung dikirimkan pada konsumen, sehingga menggunakan energi paling minimum.

- Reverse logistics merupakan praktik mengumpulkan kembali produk yang telah digunakan oleh konsumen dengan tujuan remanufacturing atau melakukan proses pembuangan dengan tepat. Praktik ini dilakukan untuk produk akhir dan material kemasan yang pengaplikasiannya dilakukan untuk upstream dan downstream rantai pasok.

- Re-active practices merupaan peraturan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah dan/atau organisasi mengenai lingkungan dan seputar GSCM.
 

Food Technology World - Surya University Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang

Blogger Templates